Oleh: Syaefunnur Maszah
Dalam negara demokratis, kekuasaan bukanlah hak mutlak yang tak boleh diganggu gugat. Justru, esensi utama dari demokrasi adalah adanya ruang kritik yang terbuka dan mekanisme check and balance yang hidup. Demokrasi bukan hanya soal pemilihan umum, melainkan juga mengenai bagaimana kekuasaan dipertanggungjawabkan kepada rakyat setiap saat. Dalam kerangka itu, partisipasi masyarakat, media, organisasi sipil, dan lembaga negara lain merupakan pilar penting untuk memastikan bahwa roda pemerintahan berjalan sesuai amanat konstitusi.
Konstitusi Indonesia secara tegas menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Artinya, pemerintah yang sah pun harus tetap tunduk pada kehendak rakyat dan hukum yang berlaku. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan pentingnya pemisahan kekuasaan serta pengawasan antarlembaga negara. Maka dari itu, kritik terhadap penyelenggara negara bukan tindakan destruktif, melainkan wujud kesadaran konstitusional yang harus dihargai, bahkan didorong.
Namun sayangnya, dalam praktiknya, kritik masih sering dimaknai sebagai ancaman. Para pengkritik dianggap mengganggu stabilitas atau bahkan dicap tidak nasionalis. Ini adalah kesalahan berpikir yang harus diluruskan. Kritik yang konstruktif justru merupakan tanda cinta terhadap tanah air dan keinginan untuk melihat bangsa ini tumbuh lebih baik. Dalam negara yang sehat, pejabat publik tidak anti kritik, melainkan menjadikan kritik sebagai cermin dan alat evaluasi kebijakan.
Keseimbangan kekuasaan atau check and balance tidak hanya tugas legislatif dan yudikatif terhadap eksekutif, tetapi juga tanggung jawab masyarakat luas. Media massa, misalnya, memiliki peran sentral dalam menyuarakan kepentingan publik dan membongkar praktik kekuasaan yang menyimpang. Organisasi masyarakat sipil juga berperan sebagai pengawas independen yang mampu menyuarakan suara-suara yang tak terwakili di panggung politik formal.
Di sisi lain, partai politik juga harus menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah, terlebih jika mereka berada di luar pemerintahan. Sayangnya, kooptasi kekuasaan sering membuat partai politik kehilangan fungsi kontrol tersebut, karena lebih sibuk mengejar kekuasaan dan fasilitas negara. Tanpa oposisi yang kuat dan berani, demokrasi mudah terjebak dalam oligarki yang dibungkus jargon-jargon populis.
Maka, penting bagi seluruh elemen masyarakat untuk merebut kembali ruang-ruang kontrol yang mulai menyempit. Akademisi harus bersuara lantang dengan data dan risetnya, seniman harus menyentil nurani bangsa melalui karya-karyanya, dan rakyat kecil pun harus diberi ruang menyampaikan keluhan tanpa rasa takut. Demokrasi tanpa kritik adalah demokrasi yang mandul. Negara tanpa pengawasan adalah negara yang mudah tergelincir dalam penyalahgunaan kekuasaan.
Menguatkan check and balance tidak berarti kita membenci pemerintah. Sebaliknya, ini adalah bentuk tanggung jawab sebagai warga negara dalam mengawal cita-cita kemerdekaan. Kita harus belajar dari sejarah, bahwa kekuasaan yang tidak diawasi kerap berakhir dengan penyalahgunaan, korupsi, dan penderitaan rakyat. Maka, menjaga agar penyelenggara negara tetap berada di jalur konstitusi adalah tugas kita bersama.
Sudah saatnya masyarakat tidak lagi diam dan pasrah. Negara yang sehat bukan yang bebas dari kritik, melainkan yang mampu bertumbuh dari kritik. Kita tidak butuh pemerintah yang sempurna, tetapi pemerintah yang terbuka, adaptif, dan bertanggung jawab. Dan itu hanya mungkin terwujud jika kritik dijadikan budaya, dan keseimbangan kekuasaan dijaga secara konsisten.
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami