__temp__ __location__

Oleh: Syaefunnur Maszah

Ada keyakinan luas yang sering diasumsikan secara otomatis: bahwa semakin religius seseorang atau masyarakat, semakin tinggi pula tingkat moralitasnya. Keberagamaan dianggap identik dengan kejujuran, keadilan, dan integritas. Namun, kenyataan di Indonesia menghadirkan sebuah ironi yang sulit diabaikan. Negeri ini dikenal sebagai salah satu negara dengan populasi paling religius di dunia, namun sekaligus menempati peringkat rendah dalam hal tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.

Pemandangan rumah ibadah yang selalu penuh, kelompok pengajian yang menjamur di berbagai tempat, serta gencarnya dakwah di media sosial seolah menandakan bangsa yang taat pada nilai-nilai ilahi. Namun, fakta di lapangan berbicara lain. Korupsi tetap menjadi penyakit kronis yang menjalar dari pusat hingga ke daerah. Praktik suap, manipulasi anggaran, jual beli jabatan, dan penyalahgunaan kekuasaan bukan cerita langka, bahkan seakan telah membudaya.

Paradoks ini menyingkap satu kenyataan penting: keberagamaan, dalam bentuk ritual dan simbol, tidak selalu berbanding lurus dengan perilaku moral. Banyak orang melaksanakan kewajiban agamanya dengan tekun, namun gagal menjadikannya sebagai etika hidup sehari-hari. Ibadah dijalani sebagai kewajiban sosial atau identitas, bukan sebagai jalan pembentukan karakter. Agama kerap berhenti di lisan, tidak sampai membentuk kejujuran hati dan keberanian moral.

Di sinilah letak persoalannya: bukan pada agamanya, melainkan pada perilaku manusianya. Agama telah memberi pedoman, namun manusialah yang memilih bagaimana menjalankannya. Dalam masyarakat yang lebih mementingkan citra ketimbang substansi, praktik keagamaan mudah terjebak dalam formalitas. Nilai kejujuran bisa dikorbankan demi kehormatan semu, dan integritas digantikan dengan kepatuhan simbolik yang tak menyentuh kesadaran etis terdalam.

Pendidikan agama di berbagai lini sering lebih menekankan hafalan dan ritual, bukan pemahaman kritis dan pembentukan tanggung jawab sosial. Teladan elite juga kerap kontra-produktif: mereka bisa tampil agamis di ruang publik, tapi terseret skandal korupsi di balik layar. Ketika hal ini terjadi secara masif, masyarakat terbiasa memisahkan antara keimanan dan etika, antara ibadah dan integritas.

Dalam masyarakat yang cenderung mengagungkan harmoni sosial dan menghindari konflik, kritik terhadap perilaku yang menyimpang dari moralitas pun sering kali dianggap tidak sopan atau tabu. Padahal, pembiaran terhadap kemunafikan yang terorganisir justru menjadi pintu masuk normalisasi penyimpangan. Moralitas yang mestinya bersumber dari hati nurani, pelan-pelan menjadi kompromistis dan permisif terhadap kebusukan.

Memulihkan moral publik berarti menanamkan kembali keberanian untuk hidup jujur meski sunyi, bertindak benar meski ditinggal, dan menolak korupsi meski tergoda. Ini tidak bisa dicapai hanya lewat seruan keagamaan, tapi melalui teladan nyata, sistem pendidikan yang mendorong pemikiran etis, serta lingkungan sosial yang menghargai integritas lebih dari popularitas.

Sebagaimana disoroti dalam artikel The Jakarta Post berjudul "Why corruption thrives in a religious society" oleh Toronata Tambun (26 Maret 2025), korupsi bisa tumbuh subur di masyarakat religius ketika keberagamaan direduksi menjadi pertunjukan sosial tanpa kesadaran moral. Tambun mengutip psikolog Lawrence Kohlberg yang menekankan pentingnya transisi dari kepatuhan karena takut hukuman menuju perilaku berdasarkan prinsip internal. Di situlah letak tantangan kita: membentuk manusia yang tidak hanya menjalankan agama, tapi menghayatinya dalam kejujuran yang konkret.

Yusuf Wicaksono

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *