__temp__ __location__

Oleh: Syaefunnur Maszah

Setiap kali bulan Ramadhan tiba, umat Islam diajak kembali merenungi makna terdalam dari ibadah puasa: menahan diri. Bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menahan nafsu dalam berbagai bentuknya, termasuk nafsu kekuasaan, harta, dan ambisi duniawi. Dalam konteks kehidupan bernegara, terutama bagi para pejabat publik, dimensi spiritual ini seharusnya menjadi refleksi mendalam untuk melawan godaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang begitu merusak sendi-sendi keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Ibadah puasa sejatinya adalah latihan kendali diri, sebuah upaya konkret untuk mengasah integritas dan kejujuran dalam kesendirian. Ketika seseorang mampu menahan diri dari hal-hal yang halal di siang hari Ramadhan, semestinya lebih mampu lagi menahan diri dari hal-hal yang jelas-jelas haram seperti suap, gratifikasi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Dalam surah Al-Baqarah ayat 183, Allah menegaskan bahwa tujuan puasa adalah agar manusia menjadi pribadi yang bertakwa. Dan takwa, dalam konteks pejabat publik, berarti menjalankan amanah dengan adil, jujur, dan bebas dari korupsi.

Sayangnya, di tengah semangat Ramadhan yang semestinya mendorong transformasi moral, praktik KKN justru masih marak terjadi. Banyak pejabat yang tetap larut dalam kemewahan, mempertontonkan gaya hidup mewah di balik layar puasa. Nafsu duniawi begitu kuat mencengkeram, dan ibadah puasa kadang hanya menjadi rutinitas tanpa makna substantif. Mereka yang seharusnya menjadi teladan moral justru menjadi bagian dari masalah besar bangsa ini.

Islam menempatkan keadilan sebagai pilar utama kehidupan. Dalam banyak ayat dan hadis, kezaliman dan pengkhianatan terhadap amanah dikutuk keras. Rasulullah SAW bersabda bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia pimpin. Maka, puasa sejatinya adalah pelatihan intensif bagi setiap pemimpin untuk membiasakan diri hidup dalam batas, menjaga integritas, dan menahan diri dari pengkhianatan terhadap rakyat.

Korupsi tidak hanya mencederai hukum positif, tetapi juga merusak moralitas individu dan kolektif. Ia adalah pengingkaran terhadap nilai puasa yang sejati, yakni menahan diri dari perbuatan yang merusak kehidupan orang lain. Dalam tradisi Islam, harta yang diperoleh secara batil adalah sumber kemurkaan Allah, dan tidak ada berkah dalam setiap rupiah yang diraih dari korupsi. Maka, mereka yang berpuasa tetapi tetap korupsi sesungguhnya telah menghianati ruh puasa itu sendiri.

Momentum Ramadhan seharusnya menjadi saat evaluasi diri bagi para pejabat negara. Sudahkah mereka benar-benar menahan nafsu berkuasa secara tamak? Sudahkah mereka menolak segala bentuk kolusi dengan kerabat dan kolega? Sudahkah mereka mendengarkan jerit rakyat miskin yang haknya dirampas demi kenyamanan segelintir elite? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menentukan apakah puasa mereka hanya menahan lapar atau benar-benar menjadi jalan menuju kesucian diri.

Upaya pemberantasan KKN tidak bisa hanya diserahkan pada lembaga formal semata, melainkan harus dimulai dari kesadaran spiritual dan moral individu. Dalam kerangka ini, puasa memiliki posisi strategis sebagai instrumen pendidikan etika bagi para pemimpin. Bila dijalankan dengan benar, puasa dapat membentuk pejabat yang lebih peka terhadap penderitaan rakyat dan lebih kuat menghadapi godaan kekuasaan yang merusak.

Akhirnya, makna terdalam dari puasa Ramadhan adalah pembebasan dari perbudakan nafsu. Dalam dunia politik dan kekuasaan, ini berarti keberanian untuk mengatakan tidak pada KKN, meski kesempatan terbuka dan tekanan datang dari segala arah. Mereka yang berhasil menahan nafsu dalam jabatan adalah mereka yang pantas disebut pemimpin sejati. Dan puasa, dengan segala kedalaman spiritualnya, adalah jalan sunyi yang menuntun ke arah itu.

Yusuf Wicaksono

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *