Oleh: Syaefunnur Maszah
Dalam hiruk pikuk kehidupan modern yang serba cepat dan penuh godaan, manusia kerap kali terlena oleh nafsu dan bisikan hati yang gelap. Kejahatan tidak selalu berbentuk kekerasan fisik atau pencurian harta; lebih sering ia muncul dalam bentuk yang lebih halus namun merusak, seperti iri hati, dendam, kesombongan, dan kebencian. Islam, melalui ajaran puasa, menghadirkan sebuah mekanisme spiritual yang kuat untuk mengendalikan dan mencegah mewabahnya penyakit hati ini.
Puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga. Dalam Islam, puasa adalah latihan pengendalian diri yang utuh, menyentuh aspek fisik, emosional, dan spiritual manusia. Rasulullah saw. bersabda dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, “Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan keji, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minumnya.” Hadis ini menegaskan bahwa esensi puasa adalah membentuk kualitas hati yang bersih dari kecenderungan berbuat jahat.
Kejahatan hati seperti iri, dengki, dan sombong berakar dari ketidakmampuan manusia mengelola hasrat dan emosi dalam dirinya. Puasa mengajarkan kita untuk menahan diri dari reaksi spontan, melatih kesabaran, serta memperkuat kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap detik kehidupan. Ketika seseorang lapar dan haus namun tetap menjaga lisannya dari mencela dan matanya dari memandang yang diharamkan, maka ia sedang membentengi hatinya dari godaan syaitan.
Dalam konteks ini, puasa menjadi instrumen tazkiyatun nafs atau penyucian jiwa. Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah ayat 183 menyatakan bahwa tujuan puasa adalah agar manusia bertakwa. Takwa tidak hanya dimaknai sebagai takut kepada Allah, tetapi juga sebagai bentuk kesadaran spiritual yang mengarahkan seseorang untuk menjauhi segala bentuk kezaliman—termasuk kezaliman batiniah yang sering tersembunyi dari pandangan manusia, tetapi sangat jelas di mata Allah.
Selain itu, puasa menumbuhkan rasa empati dan solidaritas terhadap sesama. Ketika perut kosong dan tenggorokan kering, manusia akan lebih mudah memahami derita orang miskin dan terpinggirkan. Empati inilah yang dapat membendung keinginan untuk berlaku curang, memanipulasi, atau mengambil hak orang lain. Hati yang lembut dan penuh belas kasih tidak akan mudah terpancing untuk melakukan kejahatan, baik yang tersurat maupun yang tersirat.
Kebiasaan menahan diri yang dilatih selama Ramadan seyogianya tidak berhenti saat bulan suci berakhir. Nilai-nilai moral dan spiritual yang diperkuat dalam puasa harus terus dibawa dalam kehidupan sehari-hari. Seorang Muslim sejati bukan hanya baik saat Ramadan, tetapi tetap menjaga integritas hati dan perbuatan sepanjang tahun. Inilah bentuk keistiqamahan yang menjadi buah dari puasa yang diterima oleh Allah.
Dalam dunia yang sering mendorong manusia untuk mengejar ambisi tanpa batas, puasa menjadi pengingat bahwa tidak semua keinginan harus dipenuhi. Ada batas yang ditetapkan oleh Allah demi menjaga keharmonisan jiwa dan masyarakat. Kejahatan hati yang dibiarkan tanpa kendali dapat berubah menjadi kejahatan sosial yang destruktif. Oleh karena itu, puasa adalah penawar sekaligus benteng pertahanan bagi akhlak dan tatanan sosial.
Akhirnya, puasa adalah sarana transformatif yang ditawarkan Islam untuk menyucikan hati dari kecenderungan jahat. Ia bukan hanya ibadah personal, tetapi juga jalan menuju perbaikan kolektif. Ketika hati manusia bersih, maka masyarakat pun akan bersih. Sebab dari hatilah segala tindakan bermula. Dalam puasa, Islam mewariskan rem suci yang ampuh menahan laju kejahatan sebelum ia tumbuh menjadi nyata.
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami