Bulan Ramadan selalu identik dengan peningkatan amal dan kebaikan. Dari masjid yang penuh sesak, berbagi takjil di jalanan, hingga meningkatnya jumlah donasi dan zakat. Namun, ada pertanyaan kritis yang perlu kita ajukan: Apakah semua ini benar-benar lahir dari kesadaran spiritual yang tulus, atau hanya sekadar ritual musiman yang dilakukan karena tekanan sosial dan tradisi?
1. Dermawan Musiman: Antara Niat dan Kebiasaan
Setiap Ramadan, kita melihat lonjakan besar dalam aktivitas berbagi dan beribadah. Namun, seberapa banyak dari kita yang benar-benar mempertahankan kebiasaan ini setelah bulan suci berakhir? Fenomena ini seperti gym di awal tahun penuh di Januari, sepi di bulan-bulan berikutnya. Apakah ini pertanda bahwa kedermawanan kita hanyalah efek samping dari suasana Ramadan, bukan cerminan karakter sejati?
Menurut psikologi sosial, tindakan kita sering kali dipengaruhi oleh norma sosial. Saat lingkungan kita mendorong perilaku tertentu seperti berbagi di bulan Ramadan kita lebih cenderung mengikutinya, bukan karena kesadaran intrinsik, melainkan karena ingin menyesuaikan diri dengan ekspektasi sosial. Ini menjelaskan mengapa semangat berbagi tiba-tiba menguap setelah takbir Idul Fitri berkumandang.
2. Kesalehan Instan dan Ilusi Kebaikan
Ramadan sering kali menjadi bulan "cuci dosa". Banyak orang yang tiba-tiba rajin ke masjid, berburu Lailatul Qadar, dan berlomba-lomba dalam ibadah. Namun, apakah ini benar-benar refleksi dari transformasi spiritual, atau hanya bentuk "investasi" demi mendapatkan pahala berlipat?
Dari perspektif psikologi moral, ada konsep yang disebut moral licensing , di mana seseorang merasa berhak melakukan sesuatu yang kurang baik setelah melakukan perbuatan baik. Misalnya, seseorang yang sudah banyak bersedekah di bulan Ramadan mungkin merasa "sudah cukup baik" dan kembali ke kebiasaan lamanya setelahnya. Ini menjelaskan mengapa ada orang yang begitu taat di bulan Ramadan, tapi kembali ke kebiasaan buruk setelahnya.
3. Ramadan sebagai Sarana Pembentukan Karakter, Bukan Sekadar Rutinitas Tahunan
Jika kita benar-benar ingin menjadikan Ramadan sebagai bulan pembelajaran, seharusnya perubahan yang terjadi tidak bersifat sementara. Puasa bukan sekadar ritual fisik, tapi juga latihan untuk membentuk kebiasaan dan karakter yang lebih baik dalam jangka panjang.
Mungkin inilah pertanyaan reflektif yang perlu kita ajukan: Apakah semangat kebaikan di bulan Ramadan benar-benar mencerminkan siapa diri kita, atau hanya peran musiman yang kita mainkan? Jika benar Ramadan adalah bulan peningkatan diri, mengapa perubahan yang kita alami sering kali hanya bertahan sebentar?
Saatnya Mengubah Pola Pikir
Ramadan seharusnya menjadi momentum untuk refleksi, bukan hanya rutinitas tahunan yang penuh euforia sesaat. Kebaikan, ibadah, dan kedermawanan seharusnya bukan hanya aktivitas musiman, melainkan prinsip hidup yang dijalankan secara konsisten. Jika tidak, kita hanya terjebak dalam ilusi kesalehan sementara menjadi dermawan dadakan tanpa keberlanjutan, rajin ibadah tanpa transformasi nyata.
Mungkin inilah saatnya kita bertanya pada diri sendiri: Apakah kebaikan yang kita lakukan di Ramadan ini adalah awal dari perubahan sejati, atau sekadar siklus tahunan yang akan kita lupakan setelah Idul Fitri?
Sumber
https://kemenag.go.id/kolom/ramadan-dan-perilaku-humanis-religius-pIEX5
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami