Oleh: Syaefunnur Maszah
Rupiah kembali tergelincir tajam ke level Rp17.217 per dolar AS pada awal pekan ini sebelum sedikit menguat ke sekitar Rp16.800 per dolar, menurut data Bloomberg. Level ini mendekati titik terendah yang sempat tercapai pada 25 Maret lalu, yakni Rp16.642 per dolar—nilai tukar rupiah terlemah sejak krisis keuangan Asia 1998. Tekanan ini bukan sekadar catatan angka di layar pasar uang, namun memiliki dampak langsung yang mengguncang denyut ekonomi rakyat, terutama pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
UMKM merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia, menyumbang lebih dari 60 persen terhadap PDB nasional dan menyerap 97 persen tenaga kerja berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM (2023). Namun, daya tahan mereka sangat rapuh terhadap gejolak eksternal, termasuk fluktuasi nilai tukar. Kenaikan nilai dolar secara otomatis meningkatkan biaya impor bahan baku, mempersempit margin keuntungan, serta memicu inflasi harga jual produk di pasar domestik.
Dalam praktiknya, pelaku UMKM yang mengandalkan bahan baku impor seperti tekstil, elektronik, dan komponen otomotif, harus menanggung beban biaya yang semakin tinggi. Sementara itu, daya beli masyarakat justru melemah akibat inflasi barang konsumsi yang meningkat, menambah tekanan pada keberlangsungan usaha. Menurut survei Bank Indonesia (2024), lebih dari 48 persen UMKM di sektor perdagangan mengaku mengalami penurunan pendapatan sejak rupiah menembus Rp16.000 per dolar.
Dampak ini semakin diperparah dengan keterbatasan akses pembiayaan dan rendahnya literasi keuangan digital UMKM. Para ahli seperti Prof. Rhenald Kasali mengingatkan bahwa UMKM Indonesia umumnya belum siap menghadapi volatilitas ekonomi global karena kelemahan struktural—dari sisi manajemen, digitalisasi, hingga keterhubungan dengan ekosistem global. Ketika nilai tukar bergejolak, sektor besar bisa lindungi diri lewat hedging, sementara UMKM hanya bisa pasrah pada kondisi pasar.
Dari sisi teori ekonomi, efek depresiasi mata uang terhadap sektor usaha kecil bisa dijelaskan lewat teori “pass-through exchange rate” di mana setiap kenaikan nilai tukar mata uang asing akan “diteruskan” dalam bentuk harga jual yang lebih tinggi kepada konsumen. Namun, pasar domestik yang sensitif membuat kenaikan harga sulit dilakukan tanpa kehilangan pelanggan. Di sinilah UMKM terjepit—antara biaya yang meningkat dan pasar yang menuntut harga tetap rendah.
Meski demikian, situasi ini seharusnya menjadi titik refleksi untuk memperkuat daya tahan UMKM. Salah satu learning point penting ialah pentingnya membangun rantai pasok lokal yang kuat agar ketergantungan pada impor bisa dikurangi. Pemerintah dan pelaku industri juga perlu mengakselerasi transformasi digital UMKM agar lebih efisien, adaptif, dan mampu menjangkau pasar ekspor yang justru bisa diuntungkan dari depresiasi rupiah.
Sebagai bagian dari ekonomi kerakyatan, UMKM memegang peranan strategis dalam menjaga stabilitas sosial ekonomi di tengah krisis. Dalam perspektif makroekonomi, sektor ini menjadi buffer penting terhadap guncangan besar, karena fleksibel, cepat beradaptasi, dan berdaya sebar luas. Ke depan, penguatan kebijakan fiskal dan insentif yang spesifik bagi UMKM terdampak nilai tukar mutlak diperlukan untuk menjaga kesinambungan ekonomi nasional.
Meski rupiah tengah berada di bawah tekanan, optimisme tetap menyala. Indonesia memiliki pasar domestik yang besar, sumber daya manusia muda yang kreatif, dan komunitas wirausaha yang terus tumbuh. Jika krisis 1998 berhasil dilewati dan menjadi titik tolak reformasi ekonomi, maka gejolak saat ini bisa menjadi momentum untuk memperkuat fondasi ekonomi kerakyatan yang lebih tangguh dan mandiri. UMKM bukan sekadar sektor—mereka adalah denyut nadi ekonomi Indonesia.
Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Top Story
Ikuti kami