__temp__ __location__

Oleh: Syaefunnur Maszah

Kemajuan kecerdasan buatan (AI) telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, mulai dari pekerjaan, pendidikan, hingga interaksi sosial. Namun, satu hal yang tampaknya tetap abadi adalah pencarian manusia terhadap makna hidup dan spiritualitas. Dalam perspektif Islam, kecerdasan bukan sekadar produk algoritma dan data, tetapi juga karunia dari Allah yang harus digunakan dengan hikmah. AI mungkin mampu mengolah informasi dengan kecepatan luar biasa, tetapi tidak memiliki kesadaran, hati nurani, dan spiritualitas yang menjadi inti dari eksistensi manusia.

Di tengah gelombang digitalisasi ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah AI dapat menggantikan peran manusia dalam memahami Tuhan dan menjalankan ajaran agama? Islam mengajarkan bahwa pemahaman terhadap wahyu bukan sekadar proses logis atau matematis, tetapi juga pengalaman batin yang melibatkan hati. Dalam Al-Qur’an, Allah berulang kali menekankan pentingnya hati yang bersih dan akal yang digunakan dengan bijak. Teknologi bisa menjadi alat untuk mendekatkan diri kepada-Nya, tetapi tidak dapat menggantikan peran manusia dalam beribadah dan mencari kebenaran hakiki.

Munculnya AI yang dapat membuat tafsir Al-Qur’an, menjawab pertanyaan fiqih, atau bahkan meniru gaya bicara ulama memang memberikan kemudahan. Namun, ada bahaya besar jika manusia mulai menggantungkan pemahaman agamanya semata-mata pada mesin tanpa kritis dan tanpa bimbingan dari ulama yang memiliki ilmu dan kebijaksanaan. AI tidak memiliki ruh atau pengalaman hidup, sehingga tidak bisa memahami nuansa etika, konteks budaya, dan dimensi spiritual yang melekat dalam ajaran Islam.

Dalam sejarah peradaban Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang sejalan dengan nilai-nilai ketuhanan. Para ilmuwan Muslim klasik seperti Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Ibnu Sina tidak hanya menguasai ilmu duniawi, tetapi juga mendalami filsafat dan tasawuf untuk menjaga keseimbangan antara akal dan hati. Di era AI ini, umat Islam perlu kembali pada prinsip tersebut: memanfaatkan kecerdasan buatan tanpa kehilangan spiritualitas dan esensi kemanusiaan.

Salah satu tantangan terbesar yang muncul adalah bagaimana menjaga keikhlasan dan kekhusyukan dalam beribadah di tengah era digital. Saat ini, banyak umat Islam menggunakan aplikasi untuk membaca Al-Qur’an, mengingatkan waktu salat, hingga berdiskusi tentang agama. Namun, jika tidak diimbangi dengan introspeksi diri dan pengalaman spiritual yang mendalam, ada risiko bahwa ibadah hanya menjadi rutinitas mekanis tanpa makna yang hakiki. AI bisa membantu mengingatkan waktu salat, tetapi tidak bisa menggantikan perasaan tunduk dan harap kepada Allah.

Di sisi lain, AI juga membuka peluang besar bagi dakwah Islam. Dengan algoritma yang cerdas, pesan-pesan keislaman dapat lebih mudah diakses oleh umat Muslim di berbagai belahan dunia. Teknologi ini memungkinkan penyebaran ilmu agama dengan lebih luas dan cepat, asalkan tetap dikendalikan oleh nilai-nilai Islam yang benar. Ulama dan cendekiawan Muslim perlu memanfaatkan AI sebagai sarana dakwah, bukan sebagai pengganti otoritas keagamaan.

Spiritualitas di era AI bukanlah tentang menolak teknologi, tetapi tentang bagaimana manusia tetap menjadi subjek yang berdaulat atas kecerdasannya sendiri. Islam menekankan keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara akal dan hati. AI bisa membantu manusia dalam banyak hal, tetapi ia tetaplah alat yang harus digunakan dengan penuh kesadaran. Keimanan, ketakwaan, dan hubungan pribadi dengan Allah tidak bisa direduksi menjadi sekadar data dan algoritma.

Di tengah arus digitalisasi yang semakin cepat, umat Islam perlu terus memperdalam pemahaman spiritualnya agar tidak tergerus oleh kecanggihan teknologi yang dingin dan impersonal. Tantangan utama bukanlah apakah AI bisa memahami Islam, tetapi apakah manusia masih bisa mempertahankan makna keislamannya di era yang semakin dikuasai oleh mesin. Inilah saatnya bagi umat Islam untuk memperkuat spiritualitas, bukan hanya dengan ilmu dan teknologi, tetapi juga dengan hati yang bersih dan iman yang kokoh.

Yusuf Wicaksono

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *