Oleh: Syaefunnur Maszah
Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah menghentikan bantuan militer ke Ukraina setelah bentrok dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy pekan lalu.
Menurut seorang pejabat Gedung Putih, keputusan ini semakin memperdalam perpecahan antara kedua negara yang sebelumnya merupakan sekutu erat. Kebijakan ini diambil setelah Trump, sejak menjabat pada Januari, mengubah pendekatan AS terhadap konflik Ukraina-Rusia dengan sikap yang lebih lunak terhadap Moskow.
Selain itu, kebijakan ini dipicu oleh konfrontasi sengit antara Trump dan Zelenskiy di Gedung Putih, di mana Trump mengecam Zelenskiy karena dinilai kurang menunjukkan rasa terima kasih atas dukungan AS dalam perang melawan Rusia.
Artikel berjudul "Trump pauses all US military aid to Ukraine after angry clash with Zelenskiy", yang ditulis oleh Andrea Shalal dan Gram Slattery (Reuters) dan diterbitkan di The Jakarta Post pada 4 Maret 2025, menggambarkan dinamika kebijakan luar negeri AS terhadap Ukraina.
Artikel tersebut menyoroti bagaimana keputusan Trump bukan sekadar penghentian bantuan, tetapi juga bagian dari strategi besar AS dalam mengelola hubungan dengan Rusia dan Ukraina.
Keputusan ini menunjukkan pergeseran tajam dari kebijakan pemerintahan sebelumnya yang berfokus pada dukungan penuh terhadap Ukraina dalam menghadapi agresi Rusia.
Dari perspektif kebijakan luar negeri Amerika, langkah Trump ini dapat dilihat sebagai upaya menyeimbangkan kepentingan nasional AS dengan realitas geopolitik yang berubah.
Trump tampaknya lebih mengutamakan pendekatan diplomasi ekonomi, seperti upaya mendapatkan akses ke sumber daya mineral Ukraina sebagai kompensasi atas bantuan yang telah diberikan.
Sikap ini sejalan dengan pendekatan pragmatis Trump yang lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi dibandingkan komitmen jangka panjang terhadap aliansi tradisional AS.
Bagi Ukraina, penghentian bantuan militer ini jelas menjadi pukulan berat. Sejak invasi Rusia tiga tahun lalu, AS telah memberikan bantuan sebesar $175 miliar, yang sangat krusial bagi pertahanan Ukraina.
Tanpa dukungan militer AS, Ukraina akan semakin bergantung pada bantuan Eropa, yang mungkin tidak cukup untuk menahan agresi Rusia dalam jangka panjang.
Selain itu, keputusan Trump bisa memberikan sinyal kepada Rusia bahwa Ukraina kini lebih rentan, yang dapat memperburuk situasi di medan perang dan memperpanjang konflik.
Sikap keras kepala Zelenskiy dalam menghadapi Trump juga menjadi faktor penting dalam eskalasi ini. Pernyataannya yang menyebut bahwa perang masih "sangat jauh dari selesai" memicu kemarahan Trump, yang ingin melihat pendekatan yang lebih diplomatis.
Zelenskiy tampaknya masih mengandalkan pola pikir bahwa Ukraina akan selalu mendapatkan dukungan penuh dari Barat, tanpa menyadari bahwa perubahan kepemimpinan di AS membawa dinamika baru yang lebih transaksional dan kurang idealis.
Dari kejadian ini, ada pelajaran penting bagi upaya perdamaian dunia. Konflik berkepanjangan seperti yang terjadi di Ukraina tidak bisa hanya mengandalkan dukungan militer dari negara sekutu.
Diplomasi dan negosiasi tetap menjadi kunci utama dalam mencapai solusi jangka panjang.
Ukraina perlu menyesuaikan strateginya dengan realitas politik global, sementara negara-negara lain juga harus belajar bahwa hubungan internasional tidak selalu bisa bergantung pada retorika moral, tetapi juga harus mempertimbangkan dinamika kepentingan yang terus berubah.
Keputusan Trump menghentikan bantuan militer ke Ukraina bukan sekadar kebijakan biasa, melainkan refleksi dari perubahan besar dalam geopolitik global.
Ukraina kini harus mencari strategi baru untuk bertahan, sementara dunia harus memahami bahwa perdamaian tidak bisa dicapai hanya dengan senjata, tetapi juga dengan diplomasi yang cermat dan fleksibel.

Leave a comment
Your email address will not be published. Required fields are marked *