__temp__ __location__

Oleh: Wasila Ghina Ayyasy

Pemuda adalah pemimpin masa depan. Sebuah fakta yang harus mendapat atensi penuh dari seluruh elemen masyarakat, terlebih lagi pemerintah. Pemuda sebagai tongkat estafet keberlangsungan bangsa, diharapkan mampu menjadi agen perubahan di masa yang mendatang.

Indonesia diprediksi akan mencapai puncak bonus demografi pada tahun 2030. Dimana pada saat itu jumlah penduduk Indonesia didominasi oleh usia produktif (15-64 tahun) jika dibandingkan dengan usia non produktif.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, pada tahun itu akan ada sekitar 64% penduduk usia produktif dari total jumlah penduduk Indonesia (297 juta jiwa) yang diproyeksikan.

Bonus demografi adalah kesempatan sempurna bagi bangsa Indonesia untuk memajukan negeri ini. Terlebih, Indonesia membutuhkan kontribusi terbaik pemuda dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 yang mengatur tentang kepemudaan, mengamanatkan pemerintah dan pemerintah daerah untuk menetapkan kebijakan strategis dalam pengembangan diri pemuda sesuai arah pembangunan nasional serta memfasilitasi pelaksanaannya.

Namun, apa yang akan terjadi jika bonus demografi ini luput dari konsentrasi pemerintah? Tentunya bonus demografi malah akan menjadi boomerang yang dapat menghancurkan bangsa.
Beberapa tahun terakhir Indonesia sedang dihadapkan dengan masalah yang cukup serius mengancam keberlangsungan bangsa. Dimana penduduk usia produktif yang seharusnya sibuk merintis ilmu dan pengalaman, justru malah menghabiskan waktu dengan tidak melakukan apapun.

Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) periode Agustus tahun 2023, 22,25% dari 44,47 juta jiwa anak muda (usia 15-24 tahun) Indonesia sedang tidak dalam pendidikan, pekerjaan maupun pelatihan.

Usia tersebut adalah kelompok penduduk yang harusnya disibukkan dengan aktivitas pendidikan dan pekerjaan. Jika anak muda tidak terlibat dalam kedua aktivitas tersebut, maka mereka dikategorikan tidak produktif karena potensinya tidak diberdayakan.

Kondisi ini dikenal dengan NEET (Not in Education, Employment, or Training). Indikator Not in Employment, Education, and Training (NEET) telah dikembangkan oleh International Labour Organization (ILO) dan United Nations (UN) untuk memperlebar ranah kerentanan usia muda dalam pengangguran, putus sekolah, serta keputusasaan terhadap pasar tenaga kerja.

Berdasarkan definisi ILO dan Eurostat, NEET merupakan persentase populasi dari kelompok usia muda yang tidak bekerja, tidak terlibat dalam pendidikan maupun pelatihan. Konsep NEET ini sejalan dengan dua poin

tujuan Sustainable Development Goals (SDGs), yakni pada poin keempat dan kedelapan. Poin keempat bertujuan “menjamin pemerataan pendidikan yang berkualitas dan meningkatkan kesempatan belajar untuk semua orang”.

Sedangkan pada poin kedelapan bertujuan “mendukung perkembangan ekonomi yang berkelanjutan, lapangan kerja yang produktif serta pekerjaan yang layak untuk semua orang”.

Namun, terjadinya fenomena NEET justru dilatar belakangi oleh aspek penting tersebut, diantaranya ketimpangan akses pendidikan dan ketidakpastian dunia pekerjaan. Ketidakpastian dunia pekerjaan membuat anak muda enggan untuk bekerja.

Hal ini benar adanya, dikarenakan merujuk pada data dari Badan Pusat Statistik tahun 2024 menunjukkan bahwa angka tertinggi penduduk tanpa pekerjaan berada pada kelompok usia 15-19 tahun dan 20-24 tahun.

Terlebih lagi, anak muda saat ini menyongsong prinsip work-life balance yang kurang dikedepankan oleh banyak perusahaan. Selain itu, tebatasnya lapangan pekerjaan melahirkan banyak pengangguran.

Menurut Wardhana et al. (2019), kesuksesan dalam pemanfaatan bonus demografi tidak akan bisa tercapai jika tidak dibarengi dengan luasnya lapangan pekerjaan, bahkan bisa berakibat pada pengangguran usia muda. Sehingga lapangan pekerjaan yang memadai sangat dibutuhkan pada saat ini demi mendukung pemanfaatan bonus demografi dengan maksimal.

Tidak sampai disitu saja, faktor krusialnya adalah ketidakpastian hukum dalam menjamin kesejahteraan tenaga kerja melalui regulasi yang ada. DPR RI telah mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja pada tahun 2023.

Namun, Undang-Undang ini tidak menitikberatkan terhadap kesejahteraan tenaga kerja, melainkan lebih berfokus pada tujuan untuk mendatangkan investor sebanyak-banyaknya.

Undang-Undang ini melahirkan kontroversi terkait pengaturan ketenagakerjaan di Indonesia. Pertama, terkait pengaturan kontrak kerja yakni Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang menguntungkan pengusaha/perusahaan. Alasannya, pengusaha/perusahaan mendapatkan kemudahan untuk melakukan pengakhiran hubungan kerja.

Hal ini dikarenakan PKWT dalam UU Cipta Kerja tidak mengatur lama waktu maksimal tiap-tiap PKWT, lama waktu maksimal untuk memperpanjang PKWT, dan durasi maksimal untuk memperbarui PKWT. Kebijakan ini akan merugikan tenaga kerja karena jika perusahaan melanggar PKWT, tidak ada tercantum sanksi yang jelas sehingga status ketenagakerjaan tenaga kerja tersebut tidak pasti.

Selain itu, tenaga kerja PKWT juga tidak diberikan tunjangan seperti tenaga kerja PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu). Perusahaan lebih memilih memperpanjang PKWT daripada PKWTT

dengan tujuan mengeluarkan upah seminim-minimnya dan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Kebijakan pemerintah ini justru malah semakin merugikan tenaga kerja dan mengancam kesejahteraan rakyat.

Selanjutnya, pengaturan kontroversial dalam UU Cipta Kerja adalah terkait Upah Minimum Regional (UMR). Di dalam Pasal 88D ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, disebutkan bahwa menentukan besaran upah minimum itu berdasarkan suatu formula yang mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu.

Hal ini mengakibatkan besaran upah minimum daerah yang satu berbeda dengan daerah yang lain. Penentuan upah minimum menurut pasal 88C ayat (2) dilakukan oleh Gubernur.

Dalam pasal tersebut diamanatkan bahwa Gubernur dapat menentukan Upah Minimum Kabupaten/kota, dan dilanjutkan dengan pasal 88C ayat (3) bahwa penetapan yang dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dalam hal Upah Minimum Kabupaten/Kota lebih tinggi dari Upah Minimum Provinsi.

Jika tidak dianalisis dengan saksama, pasal tersebut memang terlihat aman saja. Namun, ketika diperhatikan lagi terdapat frasa “dapat” yang mengandung makna bisa iya bisa tidak.

Masyarakat mengkhawatirkan apabila Gubernur tidak menentukan upah minimum Kabupaten/Kota akan menimbulkan masalah dan kerugian di kemudian hari karena tidak diwajibkan oleh Undang-Undang. Selain itu, ketika nantinya terjadi pergantian Gubernur juga akan mempengaruhi kebijakan terkait besaran upah minimum daerah tersebut.

Besaran upah minimum memiliki hubungan erat dengan lapangan pekerjaan. Semakin tinggi angka upah yang dikeluarkan suatu perusahaan untuk tenaga kerjanya, maka akan semakin sedikit tersedia lapangan pekerjaan di perusahaan tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Simanjuntak (1985), setiap kenaikan upah akan diikuti oleh turunnya tenaga kerja yang diminta, yang berarti akan menyebabkan bertambahnya pengangguran.

Demikian pula sebaliknya dengan turunnya tingkat upah, maka akan diikuti oleh meningkatnya kesempatan kerja, sehingga dapat dikatakan bahwa kesempatan kerja mempunyai hubungan timbal balik dengan tingkat upah. Kondisi seperti ini tentu akan mempengaruhi tingkat pengangguran di Indonesia.

Faktor-faktor diatas memberikan ketidakpastian dunia kerja bagi anak muda sehingga mereka lebih memilih dalam keadaan NEET. Jika persoalan ini dibiarkan maka angka kelompok NEET di Indonesia akan terus meningkat dan menjadi bahaya laten menuju

Indonesia Emas 2045. Pemerintah harus melakukan langkah cepat untuk mengatasi persoalan ini. Hal itu bisa dilakukan melalui revisi UU Cipta Kerja dengan melindungi hak-hak tenaga kerja sehingga bisa memberikan kepastian hukum.

Selain itu, pemerintah diharapkan mampu menyediakan lapangan pelatihan soft skill dan hard skill yang terjangkau dari segala sisi baik itu akses dan biaya bagi masyarakat. Skill ini bisa dimanfaatkan untuk membuka lapangan pekerjaan lagi kedepannya.

Yusuf Wicaksono

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *