__temp__ __location__

Oleh: Syaefunnur Maszah

Revisi terhadap Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) Tahun 2004 yang baru saja disahkan telah memunculkan perdebatan hangat di tengah masyarakat. Poin yang paling disorot adalah perluasan kewenangan militer untuk mengisi jabatan sipil tanpa harus pensiun terlebih dahulu. Kekhawatiran utama publik adalah potensi tumpang tindih kewenangan dan pengabaian prinsip meritokrasi yang selama ini menjadi landasan reformasi birokrasi di Indonesia. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, revisi ini bisa menjadi kemunduran yang serius bagi demokrasi dan efisiensi birokrasi kita yang sudah cukup terbebani.

Sebagaimana diulas dalam artikel berjudul Overlapping responsibilities loom over revised TNI Law, yang ditulis oleh Dio Suhenda dan terbit di The Jakarta Post pada 25 Maret 2025, sejumlah pakar menyuarakan keprihatinan terhadap potensi penyalahgunaan wewenang dalam pengangkatan perwira militer ke posisi sipil. Dalam artikel tersebut, Arya Fernandes dari CSIS menyampaikan bahwa tanpa regulasi turunan yang demokratis dan transparan, pengangkatan personel TNI berisiko dilakukan tanpa proses seleksi yang adil, sehingga merugikan aparatur sipil negara (ASN) yang selama ini berjuang melalui mekanisme yang ketat.

Harapan publik pun semakin menguat agar pemerintah dan DPR segera menyusun aturan pelaksana yang menjamin prinsip keterbukaan dan persaingan sehat antara ASN dan personel TNI dalam mengisi jabatan sipil. Prinsip dasarnya sederhana: siapa pun, baik sipil maupun militer, harus melalui mekanisme seleksi yang objektif dan akuntabel. Tidak ada ruang bagi penunjukan langsung yang melanggar asas keadilan birokrasi.

Meski demikian, perlu disampaikan bahwa tidak semua bagian dari revisi UU TNI ini negatif. Dalam kerangka pertahanan negara dan stabilitas nasional, keterlibatan militer dalam jabatan strategis tertentu bisa memberikan kontribusi positif. Personel TNI memiliki keunggulan dalam kedisiplinan, manajemen krisis, dan loyalitas terhadap negara. Dalam situasi tertentu, kehadiran mereka bisa memperkuat kapasitas negara, terutama di sektor yang berkaitan langsung dengan pertahanan, keamanan, dan mitigasi bencana.

Yang penting ditekankan adalah revisi UU TNI ini tidak boleh dimaknai sebagai pintu masuk kembalinya dwifungsi ABRI seperti masa lalu. Semangat reformasi TNI sejak 1998 harus tetap dijaga. Keterlibatan militer di sektor sipil harus bersifat profesional, proporsional, dan berada di bawah kontrol sipil yang kuat. Negara demokratis yang sehat menempatkan militer sebagai kekuatan pertahanan, bukan sebagai aktor utama dalam kebijakan sipil.

Lebih jauh lagi, regulasi turunan dari UU ini harus disusun secara partisipatif, melibatkan pakar hukum tata negara, pengamat militer, masyarakat sipil, dan tentu saja perwakilan dari ASN. Proses perumusan ini harus terbuka untuk kritik dan saran publik agar tidak mencederai rasa keadilan dan meritokrasi dalam birokrasi negara.

Penting pula untuk mendorong sinergi antara TNI dan ASN dalam pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan. Alih-alih saling bersaing dalam merebut posisi, keduanya bisa saling melengkapi dengan fungsi dan keunggulan masing-masing. Negara akan lebih kuat jika kedua elemen ini bersinergi, bukan saling mendominasi.

Revisi UU TNI yang kontroversial ini seharusnya bisa menjadi momentum untuk merumuskan hubungan baru yang sehat antara sipil dan militer. Dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan supremasi sipil yang dijaga, Indonesia bisa mendapatkan manfaat ganda: birokrasi yang kuat dan militer yang berkontribusi strategis.

Yusuf Wicaksono

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *